Senin, 02 Maret 2009

“Musik sebagai media penyadaran”

“Musik sebagai media penyadaran”

Musik sebagai hiburan yang komersial, dengan mudah kita temukan dalam hidup sehari-hari. Masyarakat setiap hari dicekoki lagu-lagu yang diklaim sebagai hits di bursa musik nasional. Tiga bulan kemudian akan muncul lagi lagu baru yang menembus angka penjualan diatas satu juta copy. Lagu-lagu yang menjadi hits dipasar itu kemudian di pancarkan oleh berbagai stasiun televisi. Jaringan seluler/ provider juga menjual ring tone sebagai nada panggil. Bahkan ada lagu yang ditempelkan menjadi theme song pada sebuah sinetron. Menilik hal ini, seharusnya lagu-lagu hits itu akan abadi dan dikenang dalam ingatan masyarakat sepanjang masa. Sebab, selama tiga bulan lagu-lagu hits itu terus-menerus dikumandangkan di tengah-tengah sendi kehidupan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa televisi sudah menjadi barang primer, sehingga masyarakat sampai tingkat pedesaan pun sudah bisa menikmatinya. Namun yang terjadi tidak demikian. Meskipun Lagu-lagu tersebut sudah berkumandang ditengah-tengah sendi kehidupan masyarakat, tetap saja dia akan menghilang dan cepat dilupakan orang. Mengapa demikian ?.

Industri musik nasional memang cukup menggiurkan. Banyak pemusik yang sukses dan bisa hidup mewah dari musik. Namun musik-musik yang menjadi hits itu tak bisa diharapkan memberi kontribusi atau sumbangan pada perubahan dan pendidikan masyarakat. Musik-musik hiburan justru membius masyarakat, karena sering-sering justru menjauhkan pendengarnya dari realita yang ada. Banyak pemusik yang pada mulanya menulis lirik-lirik berdasarkan realitas kehidupan yang nyata ditengah masyarakat, namun begitu mereka mendapat kesempatan masuk dapur dan diedarkan perusahaan besar, akhirnya mereka terjerumus pada thema percintaan yang menjadi ciri utama musik popular di negeri ini.

Disamping itu perkembangan teknologi rekaman yang memberi kemudahan dalam memproduksi musik, telah menyebabkan banjirnya produk musik yang dikemas dalam format CD, VCD dan DVD. Dengan demikian, masyarakat seolah-olah mempunyai banyak pilihan, padahal isi lirik dan thema yang diusung itu-itu juga, yakni percintaan remaja. Mengembangkan karir di jalur industri musik memang tidak selalu salah, sebagai contoh: Bagi remaja akhir 70an lagu “Kemarau” dari grup band Rollies sangat di gandrungi. Waktu itu pemanasan global rupanya sudah mulai di rasakan. Panas menyengat dan rerumputan yang kering rebah tak berdaya bukan hanya sebuah teks lirik. Namun suatu realita yang juga dapat dirasakan masyarakat luas. Oleh karena itu Kementrian lingkungan hidup pun akhirnya pada 1979 memberikan penghargaan Kalpataru pada grup band Rollies tersebut.

Hal yang cukup penting untuk kita cermati dari kejadian itu, adalah kepekaan Oetje F Tekol sebagai pencipta lagu “Kemarau” dalam memotret fenomena alam. Oetje mengangkatnya menjadi thema lingkungan hidup. Sebuah peristiwa yang dapat dirasakan semua orang.

Penyanyi sekaligus pencipta lagu Iwan Fals, pada masa itu sangat intensif menyuarakan potret dan realita sosial dalam masyarakat seperti lagu “Oemar Bakri” yang bercerita tentang nasib seorang guru yang jujur berbakti selama 40 tahun yang sudah melahirkan Insinyur dan Menteri tapi tetap makan hati dan dikebiri.

Ketika aktifvis HAM Munir terbunuh pun Iwan Fals masih tetap konsisten memotret kejadian tersebut sebagai realita sosial. Dia menulis lagu “Pulanglah” yang dipersembahkan bagi pejuang kemanusiaan itu. Mari kita simak lirik lagu Pulanglah tersebut.

“Pulanglah”

Padi menguning tinggal dipanen

Bening air dari gunung

Ada juga yang kekeringan karena kemarau

Semilir angin perubahan

Langit mendung kemerahan

Pulanglah kitari lembah persawahan

Selamat jalan pahlawanku

Pejuang yang dermawan

Kau pergi saat dibutuhkan saat dibutuhkan

Keberanianmu mengilhami jutaan hati

Kecerdasan dan kesederhanaanmu

Jadi impian

Pergilah pergi dengan ceria

Sebab kau tak sia-sia

Tak sia-sia

Tak sia-sia

Pergilah kawan

Pendekar

Satu hilang seribu terbilang

Patah tumbuh hilang berganti

Terimalah sekedar kembang

Dan doa-doa

Suci sejati

Suci sejati

Radio 68h yang sekarang menjadi Green radio pun ikut meluncurkan album kompilasi untuk Munir. Namun sangat disayangkan, mereka gagal menggalang dukungan dari berbagai lapisan masyarakat dan akhirnya terjebak pada sifat komersialisasi.

Sementara itu grup band Slank yang bermarkas di gang Potlot Tebet Jakarta Selatan, adalah sebuah grup band yang besar karena mereka berkeyakinan kalau membuat musik itu harus merdeka dari intervensi produser.

Album-album Slank memang diproduksi sendiri, dengan label pulau biru mereka selalu meraih sukses dalam penjualan produk. Grup yang dipimpin Kaka dan Bibim ini pernah membuat kuping para anggota DPR kepanasan, bahkan dewan kehormatan DPR berniat memprapengadilankan Slank lantaran lagu mereka yang berjudul “Gosip Jalanan” terdapat dalam Album “Plur”, diproduksi tahun 2005. Lagu itu sebenarnya berisi gosip biasa yang sering kita dengar dalam pembicaraan sehari-hari. Seperti DPR adalah pembuat uud… ujung-ujungnya duit.. dan seterusnya.

Namun semangat komersial, rupanya tidak selalu menjadi alasan utama orang untuk menciptakan sebuah musik. Beberapa komponis justru menulis musik untuk gerakan kebangsaan dan perlawanan. Tak sedikitpun dalam benak mereka, ada niat untuk membuat musik yang laku dijual dan membuat mereka jadi kaya raya. Mereka membuat musik memang sesuai dengan keinginan hati dan keprihatinan mereka pada realita yang ada, maka dari itu karya-karya mereka selalu berkumandang pada moment-moment khusus dan menentukan perjalanan bangsa. Seperti ketika runtuhnya rezim Orde baru pada tahun 1998. Pada waktu itu lagu-lagu yang menggugah rasa kebangsaan dari karya-karya komponis nasional. Seperti lagu Indonesia Raya/ karya WR Soepratman Bangun Pemuda Pemudi/ karya Alfred Simanjuntak, Syukur/ karya H Mutahar telah ikut andil menyemangati barisan mahasiswa. Diantaranya terselip sebuah lagu yang berjudul Darah Juang karya John Sonny Tobing.

Seperti dalam Pulanglah karya Iwan Fals di atas, lagu “Darah Juang” ini juga menggunakan kata padi dalam liriknya, sebagai simbol untuk menggambarkan masih adanya harapan dan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang apabila ada perubahan yang kesadarannya dimulai dari indvidu ke komunitas baru kemudian ke masyrakat yang lebih luas lagi. Mari kita simak lirik lagu Darah Juang itu.

Darah Juang

Di sini negri kami

Tempat padi terhampar

Samudranya kaya raya

Negri kami subur Tuhan.

Di negri permai ini

Berjuta rakyat tertindas luka

Anak buruh tak sekolah

Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Pada kami berjanji

Padamu kami berjanji 2X

Dalam penulisan lirik John Sonny Tobing bekerja sama dengan Andi Munajat, sesama mahasiswa Fakultas Sastra jurusan Filsafat Unifersitas Gajah mada, yang sungguh prihatin atas kondisi ekonomi sosial masyarakat disekitar mereka pada saat itu dan mereka berdua menginginkan perubahan.

Merekam sebuah moment dan menghindarkan thema percintaan yang dangkal sebenarnya sudah lama dilakukan oleh pemusik-pemusik yang mengedepankan musik sebagai media penyadaran, pembelajaran dan pembebasan. Musik-musik seperti ini memang bebas dari sifat komersial. Mereka membangun basis di tingkat masyarakat pada lapisan paling bawah. Para seniman yang berkarya dengan semangat penyadaran, pembelajaran dan pembebasan cukup banyak. Tersebutlah Wiji Thukul yang selalu membuka pembacaan puisinya dengan lagu, Apa guna dan Sungguh enak hidup di televisi. Syafei Kemamang yang lahir di Lamongan Jawa Timur itu menciptakan Mars Revolisi dan Mars buruh tani. Sementara LoNtaR band, grup musik yang dibangun oleh Bimo Petrus dan kawan-kawannya di universitas Airlangga Surabaya. Dalam catatan Kontras Bomo Petrus dan Wiji Thukul masuk dalam daftar orang hilang. David dan Kris meneruskan aktifitas Lontar, mereka banyak menciptakan lagu antara lain Simarsi (nah), Indonesia (C ) emas, Mana buku dan guruku.

Kepal SPI (serikat pengamen Indonesia) yang di pimpin oleh I Bob menyumbangkan lagu Turun ke jalan dan masih banyak lagi lagu mereka yang lain.

Marjinal adalah kelompok musik Punk yang digerakkan oleh Mike dan Bobby. Grup ini cukup disegani oleh sesama kelompok Punk dan underground lainnya. Kemanapun marjinal bergerak pentas, selagi masih bisa dijangkau anak-anak Punk pendukung mereka, selalu hadir di sana. Sebagai contoh, misalkan Marjinal diundang main di kota Tegal, dapat dipastikan kota Tegal akan dibanjiri anak-anak Punk yang datang kesana untuk menonton pertunjukkan mereka. Marjinal memang mempunyai lagu-lagu dengan lirik realis, oleh karena itu cepat akrab serta mudah dihapal oleh fans mereka. Lagu meraka yang cukup populer dan di kenal luas seantero Jawa dan Sumatra antara lain lagu Hukum dan Marsinah.

Black boots & Taring Padi juga melahirkan lagu Revolusi kebudayaan dan Lawanlah. Meskipun Taring Padi merupakan komunitas pelukis namun rupanya hal itu tak menghambat mereka untuk ikut melahirkan musik-musik yang mencerahkan rakyat.

Dalam ranah musik Reggae di Yogyakarta, telah lahir Indonesia Reggae Community, mewadahi 18 grup Reggae, diantaranya Kupurasta, Rastamof, The Pineappleas dan Jogjamania. Mereka bertekad mengumandangkan suara rakyat kecil, lewat musik Reggae. Sementara itu Red flag band, grup Reggae yang bedomisili di Lampung sudah meluncurkan album. Lagu-lagu mereka antara lain Buruh tani, Fight For Socialism, G/28/S/TNI. Grup Reggae Lokal Ambiance yang di motori Mogan Pasaribu, Deni Siregar, Rico Hasibuan melahirkan lagu Petani, Such of my life, Tree Angle Question dan memasukkan lagu Rakyat bersatu dalam Album mereka.

Lagu “Rakyat Bersatu”

Menurut penuturan beberapa sumber, lagu Rakyat Bersatu adalah dua potong lagu yang disatukan.

Bagian pertama diambil dari lagu Rakyat Merdeka yang ditulis oleh seorang pelukis yakni Yayak Kencrit Yatmika, seorang pelukis yang banyak menciptakan lagu dan lirik.

Bagian kedua diambil dari lagu Pasti Menang yang ditulis oleh David Kris yang pernah diculik, namun masih beruntung karena dia dilepaskan oleh para penculiknya, sementara kawan-kawan lainnya mengalami nasib nahas sampai saat ini tidak diketahui keberadaanya.

Sementara Yayak Yatmika, semasa pemerintahan rezim Orde Baru, terpaksa bermukim di kota Koln Jerman. Saat itu dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena sakit. Menurut diagnosa dokternya disana, penyakit Yayak akan kambuh dan bisa berakibat fatal bila berhadapan dengan birokrasi Orde Baru. Maka dokter tersebut tidak memperkenankanya untuk pulang ke tanah air, serta membuat surat tembusan pada organisasi Amnesty Internasional disana, agar meberikan dukungan untuk mendapatkan izin tinggal di sana.

Waktu itu Yayak sangat menderita, karena lagu yang dibuatnya itu sangat serius dan rencananya akan di ajarkan pada anak-anak Pro Demokrasi di dalam negeri, namun dia tidak dapat pulang ke tanah air. Pada tahun 1996 seorang kawan yang sedang berkunjung ke Jerman berkesempatan singgah ke flatz tempat tinggal Yayak. Dia pun tak menyia-nyakan kesempatan tersebut, lagu yang sudah diciptakannya itu dititipkan, agar dapat diajarkan dan disebarkan di dalam negeri. Tentu hanya lewat ingatan serta sedikit catatan. Setelah pulang ke tanah air, sahabat Yayak itu ternyata punya gagasan lain. Hal ini terjadi karena di kota Jogya dan Solo dia menemukan bahwa lagu karangan David Kris dengan judul “Pasti menang” pada bagian reff lagu itu, ternyata menggunakan melodi dan lirik yang sama persis, seperti: Pasti menang harus menang, rakyat berjuang. Pasti menang harus menang rakyat merdeka. Bagi sang sahabat yang dititipkan pesan untuk memperkenalkan lagu itu, menyadari hal tersebut adalah sebuah kekayaan dan tak mau hanyut mempersoalkan hal-hal kecil. Baginya yang terpenting adalah bagaimana agar kedua lagu tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan kuat. Maka kedua lagu digabungkan, tentu dengan sedikit perbaikan pada lirik dan kord, sehingga bentuknya lengkap seperti di bawah ini:

“Rakyat Bersatu”

Satukanlah dirimu semua

Seluruh rakyat senasib serasa

Susah senang dirasa sama

Bangun-bangun segera

Satukanlah gerai jemarimu

Kepalkanlah dan jadikan tinju

Bara lapar jadikan palu

Tuk pukul lawan tak perlu meragu

Reff Pasti menang harus menang

Rakyat berjuang

Pasti menang harus menang

Rakyat merdeka

Hari terus berganti

Haruskah kalah lagi

Sang penindas harus pergi

Untuk hari esok

Yang lebih baik

back ke Reff:

Jangan mau ditindas

Jangan mau di jajah

Jiwa dan fikiran kita

Untuk hari esok

Yang lebih baik

back ke Reff // coda:

Lagu Rakyat Bersatu ini tercatat di Lipi sebagai lagu yang ikut menyemangati barisan mahasiswa dalam demo-demo tahun 1998. Kalau kita simak ketiga lirik lagu diatas tentu sangat berbeda dengan lirik lagu-lagu popular yang setiap hari hadir di layar kaca stasiun televisi. Ketiga lagu diatas mempunyai visi penyadaran dan perlawanan. Karena itu apabila ada orang yang dapat merasakan dan menghayati ketiga lagu tersebut maka lagu itu akan menjadi abadi dan tak akan pernah luntur dari memori mereka. Disinilah kekuatan lirik yang mengedepankan cinta pada thema kemanusian dari pada melulu terhadap lawan jenis saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar