Senin, 02 Maret 2009

Menyoal “GONDANG BATAK” melirik “ ANGKLUNG BALI”

Menyoal GONDANG BATAK” melirikANGKLUNG BALI

Festival Budaya

Belum lama berselang, Bali Art Festival/BAF {Pesta Seni Bali} pertengahan Juni/Juli 2008 hampir bersamaan dengan, pelaksanaan dimulainya Festival Danau Toba{FDT} Juli 2008. Dua peristiwa budaya yang dapat diharapkan memulihkan dunia Parawisata tersebut, bisa dikatakan sama-sama gagal dalam mendatangkan turis.{mungkin karena dikelola pemda}. Maka, tidak ada salahnya kalau kita mencermati kedua peristiwa budaya tersebut, sebagai bahan kajian dan perenungan. Perenungan bagi kita orang Batak yang hanya bisa jadi penonton di kejauhan, maupun orang Batak yang menonton secara langsung, atau lewat berita koran dan televisi.

Mengamati peristiwa Festival Danau Toba {FDT} itu juga, telah mengundang banyak komentar miring, dari para Budayawan dan pemerhati kebudayaan Batak. Namun sudah bisa kita memprediksi, bahwa opini-opini mereka yang kritis terhadap FDT ini, mungkin dianggap angin lalu saja oleh panitia, dan sudah seharusnya ada session untuk mempertanggung jawabkannya. Agar kedepan FDT tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, seperti halnya pelaksanaan FDT 10 tahunan yang lalu, yaitu jalan sendiri tanpa pernah memeriksa, berbagai kajian dari para budayawan, maupun pemerhati seni dan budaya Batak itu sendiri. Atau bila perlu mengundang juga para ahli untuk diminta pendapatnya. Akan tetapi panitia mungkin menganggap kritik tersebut tidak penting, yang penting adalah, proyek Pemda ini sudah selesai dan tutup buku.

Lantas apa yang bisa diharapkan dari sebuah FDT yang tingkat Profesionalitasnya sudah sama-sama kita saksikan tersebut? Apalagi kalau panitia yang bertanggung jawab, tak memberi ruang untuk bertukar fikiran, demi memajukan FDT itu dimasa yang akan datang. Tentu masih banyak lagi kritikan yang tidak muncul kepermukaan, namun ada juga pertanyaan cukup menarik, menyoal Festival Gondang umpamanya.

Festival” Gondang Sabangunan”

Bukankah FDT juga sudah seharusnya menampilkan Festival Gondang ?. Kalau bukan FDT, siapa lagi yang dapat diharapkan menjadi pelestari kebudayaan Batak tersebut ? Festival yang dimaksud disini, adalah sebuah pesta untuk menyatukan persepsi, sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa musik Gondang Batak telah mengalami stagnasi yang cenderung mendekati kepunahan. Bahkan ada kesimpang-siuran dalam memetakan Gondang na pitu {tujuh nomor Gondang Sabangunan yang menjadi dasar-dasar gondang Batak}. Hal ini terjadi disebabkan karena berbagai kondisi. Pertama karena tidak ada lagi pesta Bius. Padahal pada masa lampau, Pesta Bius telah menjadi tempat bernaung bagi Gondang Sabangunan, dimana upacara Bius menjadi wadah bagi pertumbuhan dan perkembangan Gondang itu sendiri . Disamping itu, semakin hari semakin sedikit saja orang Batak, yang mencapai strata Saur Matua dan kalaupun ada, keluarganya belum tentu mau membunyikan Gondang Sabangunan.

Mereka juga tentu, mempunyai alasan tersendiri, seperti anggapan bahwa menabuh Gondang adalah praktek sipele begu, yang sama dengan kafir. Atau juga mungkin karena masalah keuangan. Melihat fakta-fakta demikian, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Gondang Batak memang sangat membutuhkan wadah tempatnya untuk hidup dan berkembang. Wajar saja kalau ada yang mempertanyakan visi dan misi FDT, dalam hal melestarikan Gondang.

Apakah Gondang yang telah menggerakkan denyut jantung Budaya “Dalihan na Tolu” {tiga tungku yang menjadi relasi marga-marga} Ompung-Ompungnya {Leluhur} orang Batak tersebut, hanya menjadi etalase FDT saja ?

Festival Gondang Sabangunan & Gondang Hasapi harus masuk dalam program agenda kerja FDT.Alasannya, karena Gondang juga, sama halnya dengan Danau Toba, yaitu identik dengan suku Batak. Dalam Festival Gondang ini,{kalau kelak itu terjadi} juga tidak diperlukan pemenang atau juara, karena Festival ini bukan perlombaan. Semua saja Grup Gondang di Bona Pasogit, {kampung halaman} maupun di tano parserakan, {perantauan}Medan, Riau, Lampung, Jakarta, Bandung, Surabaya, Sekolah Gondang Laguboti. Siswa binaan Irwansyah Harahap juga, harus turut diundang untuk berpartisipasi merayakan pesta tersebut. Disanalah mereka berkenalan, saling merekam, mungkin juga mereka sudah sejak lama saling kenal. Kemudian dalam kesempatan seperti itu, adalah wacana untuk bertukar fikiran, juga menjadi wacana untuk bermain musik bersama lagi {reuni}. Ada banyak hal positif, yang akan tumbuh dalam peristiwa budaya tersebut. Hal inilah sebenarnya yang kurang mendapat perhatian, dari para pemuka adat dan pengambil keputusan di tingkat daerah. Bahwa sudah seharusnyalah Gondang terkait dengan pelestarian Danau Toba. Sebab sebagaimana layaknya menanam pohon, haruslah dengan {Hinita,“Piso ni Gondang”} maminta Gondang, kemudian di palulah Ogung {gong}, maka seantero masyarakat Bona pasogit pun menanam pohon sambil manortor, tamu pun akan banyak datang.

Pertanyaan kedua; Sebenarnya begitu banyak orang Batak, punya pemikiran/ gagasan dan konsep budaya yang baik, justru disambut oleh kelompok budaya lain. Adakah ini sebagai sebuah fenomena yang umum, bagi orang Batak perantauan yang tercerabut dari rootsnya ?{akarnya}.

Contohnya konsep Kebudayaan dari G.R. Lono Lastoro Simatupang {Budaya sebagai strategi dan strategi budaya tahun 2000) yang dikutip oleh Ibed Surgana Yuga dalam mengevaluasi BAF 2008. dan mengapa tidak ada membuat

Peluang dan Batas

Dalam ulasan Simatupang tersebut menyatakan bahwa dalam pergaulan global, terutama yang berhubungan dengan seni pertunjukan Indonesia, dimana suatu wilayah budaya harus memberlakukan strategi yang tepat. Menurutnya, globalisasi memberikan dua paradoks pada seni pertunjukan, yaitu peluang dan batas. Kedua hal inilah yang mesti dihadapi dengan strategi, sehingga peluang tidak terlalu kebablasan atau tanpa batas dapat dihindari, sebab batasan itu sendiri tidak untuk mematikan kreatifitas atau membatasinya dengan begitu ketat, yang mencitrakan stagnasi.

G.R. Lono Lastoro Simatupang sendiri berpendapat bahwa “Bali”, adalah contoh yang tepat dalam menjalankan strategi ini, sebab di Bali “terdapat kesupelan dan sekaligus keketatan, yang terlihat dalam komprominya terhadap berbagai pengaruh, termasuk pengaruh yang datang dari luar Bali, namun tetap memegang inti sari budayanya dengan erat. Sebagai contohnya adalah Angklung Bali, yang turut ditampilkan dalam Festival Seni Budaya Bali 2008 yang baru lalu. Angklung yang dimaksud disini bukanlah seperti yang umum dikenal orang, yaitu intrumen musik dari bambu{Sunda}.

Angklung Bali adalah Gamelan dalam golongan “Barungan Madya”. Di selatan Bali dengan bilah 4 nada sedangkan di Bali utara 5 nada keduanya dalam pentatonik/ {selendro cina}/ bilah-bilah gamelan terbuat dari logam kuningan murni, dipalu dengan sebuah alat pemukul {stick}yang menyerupai martil, bahan dari kayu.

Dalam tabuhan klasik Gamelan Bali, angklung ini dianggap sebagai cikal bakal dari Gamelan Gong Kebyar, Angklung biasanya digunakan untuk mengiringi ritual Panca Yadnya, adalah 5 upacara suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu Bali dalam mencapai kesempurnaan hidup.

Mulai dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Wedana, Manusia Yadnya, Resi Yadnya.

Dengan kata lain, Gamelan Angklung memegang peran penting dalam upacara Adat dan keagamaan Hindu di Bali. Seperti upacara Ngaben, Ngasti. Penelitian STSI Denpasar mencatat ada 15 repetoar klasik dalam ranah Gamelan Angklung Bali, yang sampai kini terus di jaga kelestariannya dalam upacara Manusia Yadya didukung oleh semua Banjar di Bali sebagai lembaga adat {Banjar mirip dengan Bius dalam Batak}. Oleh karena itu, bolehlah kita mencoba menyandingkan keberadaan gamelan Bali tersebut, dengan keberadaan Gondang Batak dalam tatanan budaya Batak kontemporer{sekarang/kini}.

Mungkin, hal ini akan membuat pembaca akan bertanya-tanya, apa perlunya kita mengulas Angklung Bali dengan Gondang Batak ? tuning dan modal nadanya kan berbeda ?, atau dari mana memulainya ?. Toh Gondang juga cukup bermartabat, dimana Gondang juga memiliki fungsi yang hampir sama dalam adat budaya Batak, antara lain Mengokkal holi/ saring-saring {mengangkat tulang belulang}, Sari matua/Saur matua {mencapai umur yang tua dan berketurunan}. Justru karena fungsi dari dua bentuk ensambel musik tradisi inilah, yang menjadi topik bahasan kita. Keduanya mempunyai peran yang sama-sama penting, dalam upacara yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Juga sama-sama pentatonis, meski mempunyai tuning dan modal nada/frekwensi hertz yang berbeda.

Angklung Bali menjadi Gebyar

Gamelan Angklung adalah gamelan, dimana kelahirannya lebih dulu ketimbang Gamelan Gong Kebyar, yang kini lebih banyak tampil dalam prosesi adat dan budaya Bali. Sementara itu, Gamelan Angklung tampil dalam upacara keagamaan saja, seperti yang sudah dipaparkan di atas tadi.

Dalam Bali Art Festival 2008 yang lalu, telah ditampilkan kreasi baru dari Angklung Bali tersebut, yakni “Angklung Kebyar”. Kebyar disini, maksudnya adalah lebih gempita/ menggelegar.

Ada penambahan instrumen cymbal {ceng-ceng gede}, instrumen yang biasanya di pakai untuk Blaganjuran {semacam musik untuk prosesi juga, namun didominasi gema Gong dan rampak gendang Bali}, dinamikanya juga dimainkan lebih keras dan enerjik.

Demikianlah perbedaan yang terlihat secara umun, antara Angklung Madya dan Angklung Gebyar. Soal kreasi, adalah soal yang lain lagi. Hal ini tentu saja sangat bergantung pada kreativitas sekhe {grup}peserta.

Menurut I Wayan Sadra, seorang putra Bali yang menjadi staff pengajar di STSI Surakarta {Solo}. Kebudayaan Bali memang erat hubungannya dengan “Desa Kala Patra” (ruang, waktu dan keadaan} artinya, budaya Bali memang selalu beradaptasi dengan kondisi jaman. Musik yang tadinya diperuntukkan untuk upacara, bisa saja ditampilkan untuk hal-hal lain, asalkan sajen {syarat-syarat} untuk hal tersebut sudah terpenuhi. Bagi I Wayan Sadra, gamelan kreasi baru maupun klasik bukanlah masalah penting, karena yang paling penting adalah, kepekaan dalam melihat perbedaan. Perbedaan mana itu yang klasik dan mana itu yang kreasi baru. Pendapat I Wayan Sadra ini, sebenarnya mewakili pandangan umum orang Bali juga, dalam menyikapi perkembangan budaya Bali. Sejak Walter Spies berhasil mencangkokkan sendratari Rama & Shinta, dalam tari Kecak pada tahun 30an, telah tumbuh kesadaran pada masyarakat Bali, akan pentingnya arti sebuah Festival Gamelan. Maka sejak itu di Pulau Bali, marak dengan berbagai Festival budaya.

Pada tahun 1971, telah dilangsungakn sebuah seminar mengenai kebudayaan Bali.

Seminar tersebut dihadiri para seniman, budayawan dan cendikiawan Bali. Dari mereka diharapkan bisa memberi masukan untuk mencermati, sejauh manakah toleransi budaya Bali, bisa menerima pengaruh budaya lain atau asing. Dalam hal ini, kita sudah dapat membuat kesimpulan, bahwa sejak lama tetua-tetua adat Bali, selalu mempertimbangkan secara masak-masak, langkah-langkah apa yang harus diambil dalam rangka mengantisipasi perkembangan jaman. Seperti yang diungkapkan oleh Simatupang di atas tadi, bahwa budaya Bali memang kompromistik, akan tetapi di sisi yang lain masih memegang erat inti sari dari kebudayaannya. Tanpa bermaksud mengenyampingkan niat baik dari pemda Bali, sebagai pengelola Bali Arts Festival, tampaknya turis asing itu datang berbondong-bondong, justru pada saat BAF sudah berakhir. Untunglah ada dua upacara ngaben massal, yang dilakukan oleh Puri Ubud Gianyar dan Karang Asem. Media cetak ibu kota turut juga mengirim jurnalisnya untuk meliput upacara itu. Ubud diberitakan penuh sesak, kekurangan kamar bagi turis manca negara yang datang demi menyaksikan Upacara tersebut. Bisa jadi turis-turis asing itu, memang datang untuk Odalan {upacara Manusa Yadnya}, bukan untuk BAF.

“Pendataan dan Dokumentasi Gondang”

Pada tahun 2002 di Taman Mini Indonesia Indah, diadakanlah sebuah “Festival Gondang Batak”. Festival ini diorganisir oleh Grup Gondang “Batara Guru”, diikuti peserta sebanyak 12 grup. Sesudah itu, dilanjutkan lagi pada tahun 2006. “Batara Guru” bekerja sama dengan suku dinas kebudayaan DKI Jakarta.

Sebagai pelaksana Festival Gondang yang mengambil tempat di Taman Ismail Marzuki {PKJ TIM}itu, diikuti peserta yang hanya bermukim di Jakarta dan sekitarnya saja.

Namun sangat disayangkan, Festival tersebut belum mampu mendongkrak

permasalahan Gondang menjadi isu masyarakat masih terjebak dalam semangat perlombaan, sehingga tidak mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan, yaitu menyatukan persepsi tabuhan Gondang. Gagasan ini memang jitu, sebab hanya sebuah Festival Gondang yang baiklah, diharapkan mampu menjadi wadah untuk mengkumandangkan keberadaan Gondang yang kritis di tingkat adat, namun dahsyat dan dinamis meski repetitip {banyak pengulangan} konon turut menghidupkan tor-tor dalam dinamika Adat Dalihan na Tolu. Jadi percuma saja kita berteriak-teriak, minta perhatian Batak agar memberdayakan Gondang, karena kini kedudukannya dalam Adat Batak sendiri-pun sudah mulai disingkirkan. Disadari atau tidak, nyatanya dalam Adat Dalihan Na Tolu, Gondang Batak tidak eksis lagi seperti yang umum kita lihat dalam pesta-pesta adat Batak saat ini, pada adat Perkawinan dan Manggarar adat. Yang lebih mengenaskan lagi dalam pelaksanaan adat Saur Matua, musik yang digunakan dalam pelaksanaan adat itu kini lebih banyak menggunakan jasa musik brass {tiup} organ tunggal dan poco-poco. Ironis memang, karena pada saat segelintir masyarakat mulai menyadari, bahwa kondisi dan keberadaan Gondang Batak ini, dalam keadaan kritis, mereka tidak mendapat dukungan yang cukup.

Akhir-akhir ini memang ada kabar yang cukup menggembirakan, yaitu pendokumentasian Gondang Batak. Pada mulanya, kegiatan ini diprakarsai hanya beberapa orang saja, mereka adalah orang-orang yang perduli dan prihatin akan kondisi serta keberadaan Gondang yang luhur, namun terancam punah itu. Maka dianggap perlulah, membuat proyek Dokumentasi dari repertoar-repertoar Gondang Batak tersebut, dalam bentuk pendataan audio visual, berikut Tutorialnya. Dengan tujuan agar generasi muda Batak dimasa yang akan datang, tidak hanya tahu Gondang Batak itu hanya lewat dongeng belaka. Bagi Monang Naipospos, Suhunan Situmorang maupun Charlie Sianipar, Viky Sianipar dan kawan-kawan tentu ini adalah sebuah pekerjaan besar, yang memerlukan dukungan dari segenap putra-putri Batak, baik itu dari perantauan maupun di Bona pasogit {kampung halaman}. Pendokumentasian Gondang, adalah pekerjaan besar untuk mengantisipasi punahnya Gondang dari muka bumi ini. Sehingga, kalau kepunahan itu benar terjadi, kita masih punya data-datanya. Data inilah yang akan diwariskan kepada anak cucu kita nantinya. Walaupun demikian, pekerjaan besar ini masih menyisakan pertanyaan, menyangkut Gondang na Pitu { tujuh dasar-dasar Gondang Sabangunan}. Umpamanya, sebagai dasar-dasar Gondang Sabangunan, apakah Sampur Marmeme dan Sampur Marorot termasuk dalam golongan Gondang Na Pitu ? mengenai hal ini, ada baiknya didiskusikan dulu dengan basis-basis yang berkaitan dengan Gondang Batak. Terutama dengan Pargosi-pargonsi dari berbagai basis Bius {kumpulan marga-marga}masa lalu, yang menyebar ke Parserakan {perantauan}. Sebab, menurut beberapa sumber yang bisa dipercaya, Sampur Marmeme dan Sampur Marorot belum lagi atau bukan termasuk dalam Gondang na Pitu. Bisa jadi Tonggo-Tonggo {mantra}pun dianggap sama sebagai goar-goar ni gondang.

Kita bisa membayangkan, seberapa jauhkah variasi dari Gondang itu bisa dieksplorasi, menjadi komposisi-komposisi seperti goar-goar ni gondang yang berjumlah ratusan tersebut ?.

Bagaimana nantinya para Pargonsi menghapalkan perbedaan-perbedan setiap gondang tersebut ?. Dalam Gondang Hasapi memang agak sedikit jelas adanya perbedaan antara komposisi yang satu dan yang lain. Berbicara mengenai belajar Gondang, ada beberapa catatan yang cukup unik.

Menurut pengakuan beberapa Pargonsi {para musisi gondang}seperti Almarhum AWK Samosir, pernah membuat pernyataan bahwa kemampuannya bermain hasapi itu{intrumen petik dengan dua senar}didapatnya melalui mimpi.

Pengalaman Tarsan Simamora juga mirip seperti itu, yakni mata guru, roha sisean {mata memandu, hati merasakan}, sedangkan pengalaman Manogang Siahaan lain lagi, baginya seseorang yang ingin belajar menjadi pargonsi, ada juga cara melalui bimbingan, dari orang tua yang tahu Tonggonya {Doanya}.

Pernah sekali waktu, Ketika Manogang Siahaan masih di kampung dulu, menyaksikan seorang petani muda yang tak pernah belajar Gondang, diminta ikut oleh seorang yang sudah dituakan, untuk meniup Sarune bolon (instrumen tiup kayu dengan rit bambu, diikat benang} dalam sebuah upacara Parmalim di desanya Panamparan {dekat Sigura-gura}. Orang tua tersebut telah terpaksa menggunakan pemuda itu sebagai mediumnya, karena pargonsi-pargonsi {musisi gondang} lainnya telah pergi meninggalkan desa ke kota, sehingga dia tak punya pilihan lain. Orang tua itu, kemudian memohon melalui Piso ni Gondang/ Hinita Gondang {meminta Gondang}dan Tonggo-tonggo tu Mulajadi na Bolon {doa puja sembah Dewata}agar membimbing mereka dan pemuda itu dalam melaksanakan upacara tersebut. Sejak saat itu, sang petani muda pun mulai menunjukkan bakatnya yang terpendam sebagai Pargonsi. Kisah ini, dituturkan oleh Manogang Siahaan, dia adalah seorang pendiri Grup Gondang “Dalihan na Tolu” yang bermarkas di bilangan Cibubur Jakarta Timur. Dalam hal ini Gondang Batak memang memiliki nuansa atau atmosfir yang sulit kita pelajari, sebab kuping kita mungkin, telah lebih terbiasa dimanjakan oleh melodi-melodi yang bergerak dengan pola yang menjelajahi banyak nada dan achord yang berbeda. Disamping itu, kita juga sudah jarang punya kesempatan mendengar dan menyaksikan Gondang Sabangunan secara langsung. Musik nan ritmis, dinamis, repetitip {pengulangan}, juga dapat disebut penta tonik empat nada yang terkesan monoton, bagi kuping orang awam, biasanya sangat sulit untuk menangkap perbedaan form bunyi antara Gondang yang satu dan lainnya. Bagi mereka, bentuknya sama saja. Jadi, kalau Gondang Sabangunan sebagai sebuah ensambel

musik sakral, serta melihat uraian-uraian yang sudah dikemukakan di atas tadi, jika Gondang Sabangunan tidak mendapatkan tempatnya lagi dalam adat Dalihan na Tolu, seperti Tubu, Mangoli, Saur Matua, Mangokkal holi-holi/saring-saring {lahir, menikah, wafat dan berketurunan, mengangkat tulang-belulang, dimana kedudukan tiga tungku Boru, Dongan tubu, dan Hula-hula berfungsi, nampaknya Gondang Sabangunan segera akan dilupakan orang. Gondang Batak ini mengalami kondisi yang berbeda dengan Angklung Bali.

Angklung Bali masih tetap berfungsi dalam wadah upacara Manusa Yadnya meskipun sudah ada kreasi-kreasi baru, seperti Angklung Kebyar yang sudah tampil dalam BAF 08 tersebut. Namun perlu kita ingat sekali lagi, bahwa turis tidak datang untuk menyaksikan BAF. Lagi-lagi turis datang untuk sebuah Ngaben Besar di Ubud dan Karang Asem Bali. Disanalah Angklung mengemban tugasnya bersama Blaganjur mengawal prosesi Upacara massal, disaksikan oleh segenap warga Bali dan turis manca negara. Kalau ada pertanyaan, mengapa turis tidak datang ke Danau Toba ?, padahal sudah dibuatkan sebuah Festival untuk memikat turis. Jawabnya karena FDT tidak menampilkan Gondang Sabagunan, dalam sebuah upacara adat Dalihan na Tolu yang sesungguhnya. Di sana, Gondang hanya menjadi pajangan yang menderita karena kehilangan fungsi dalam strata budaya Batak Kontemporer masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar